SEBUAH berita mengejutkan datang dari Credit Suisse Research Institute yang melaporkan bahwa kekayaan orang Indonesia meningkat drastis mulai Januari 2010 hingga Juni 2011.
Dalam kurun waktu 1,5 tahun tersebut, kenaikan kekayaan orang Indonesia ditaksir mencapai USD 420 miliar atau sekitar Rp 3.738 triliun. Hal itu menjadikan total kekayaan orang Indonesia pada pertengahan 2011 mencapai USD 1,8 triliun atau sekitar Rp 16.000 triliun.
Imbas ”prestasi” peningkatan kekayaan itu menempatkan Indonesia duduk pada posisi ketiga di kawasan Asia dan posisi ke-14 di dunia sebagai negara kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Selain itu, berdasar data Certified Wealth Manager’s Association (CWMA), jumlah orang kaya di negeri ini meningkat pesat. Dilaporkan akhir tahun ini, jumlah kelompok orang tajir tersebut sudah mencapai angka 1,1 juta orang.
Ironi Orang Miskin Di balik gemerlap meningkatnya kekayaan dan orang kaya di Indonesia saat ini, ada beberapa fakta yang miris untuk  diungkap. Pertama, masih tingginya tingkat ketimpangan kemiskinan antardaerah. Secara umum, kinerja pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II memang mencapai 6,5 persen. Namur, sayang, penyumbang terbesar PDB masih saja didominasi Pulau Jawa dan Sumatera sebesar 81,2 persen, Kalimantan 9,5 persen, Sulawesi 4,7 persen, dan sisanya 4,6 persen tersebar merata di daerah yang lain.
Dampak ketimpangan itu memperlebar jurang kemiskinan antardaerah. Tak salah, kontributor utama penduduk miskin di Indonesia berada di kawasan timur Indonesia (KTI) yang masih minim kontribusi PDB, khususnya daerah Papua dan Maluku, yang mencapai 25,95 persen.
Masalah ketimpangan kesejahteraan ekonomi itulah yang menjadi salah satu penyebab utama pemicu terjadinya kerusuhan di Papua belakangan ini. Berbagai upaya pendekatan telah dilakukan pemerintah pusat untuk meredam konflik di Papua, baik dari sisi politik, hukum, budaya, maupun sosial ekonomi. Salah satu contoh, yaitu melalui pendekatan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk konsistensi desentralisasi fiskal Papua dan Papua Barat.
Pembiayaan pusat ke Papua dan Papua Barat dalam tujuh tahun terakhir ini meningkat lebih dari 100 persen. Jika pada 2004–2005 alokasi dana otsus (otonomi khusus), dana sektoral, dan dana alokasi umum ke daerah berkisar sekitar Rp 13 triliun, tahun ini alokasinya meningkat drastis menjadi Rp 30 triliun.
Meski demikian, hal itu kurang membuahkan hasil. Sebab, ditengarai triliunan rupiah dana tersebut diselewengkan banyak pihak, termasuk para pejabat di Papua dan Papua Barat itu sendiri.
Tak ada jalan lain, untuk meredakan konflik kerusuhan ini, pemerintah harus melakukan pendekatan dialog dan kesejahteraan ekonomi demi terwujudnya keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan di Bumi Cenderawasih tersebut. Langkah pendekatan keamananan melalui operasi militer dengan jalan kekerasan telah terbukti gagal dan malah ujung-ujungnya rakyat Papua sendiri yang menjadi korban.
Kedua, semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin. Laporan BPS menyebut kan, jumlah penduduk miskin di Indonesia selama dua tahun terakhir (2008–2010) turun sekitar 4 juta orang, dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang.
Selain itu, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin Indonesia turun satu juta orang (0,84 persen) jika dibandingkan dengan per Maret 2010. Hasilnya, jumlah penduduk miskin per Maret 2011 di Indonesia sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen dari total penduduk Indonesia).
Namun, sayangnya, moncernya pencapaian kinerja tersebut terbantahkan oleh fakta baru bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang sejak 2008 hingga 2010.
Pada 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia 40,4 juta orang dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang. Ketiga, semakin rendahnya tingkat distribusi pendapatan nasional. Realitas yang ada menunjukkan tingkat distribusi pendapatan nasional semakin memprihatinkan, khususnya bila ditinjau dari gini ratio (GR).
Keempat, semakin lebarnya tingkat ketimpangan desa dan kota. Ketimpangan desa dan kota selama ini merupakan faktor utama penyebab kemiskinan di Indonesia tak kunjung selesai. Data menunjukkan, per Maret 2011 penduduk miskin di desa tercatat 18,97 juta orang, sedangkan di kota hanya 11,05 juta orang.
Hal itu disebabkan semakin timpangnya pedesaan dan perkotaan. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) di daerah pedesaan masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan perkotaan sampai saat ini. Pada Maret 2010, nilai indeks P1 perkotaan hanya hanya 1,57 sementara di daerah pedesaan mencapai 2,80. Nilai indeks P2 untuk perkotaan hanya 0,40, sementara di daerah pedesaan mencapai 0,75.
Data terbaru menyebutkan, Maret 2011 menunjukkan bahwa indeks ”P1” perkotaan hanya 1,51, sedangkan pedesaan malah mencapai 2,96. Sedangkan untuk ”P2” di perkotaan sebesar 0,35 dan pedesaan mencapai 0,72. Kesimpulannya bahwa tingkat kemiskinan di daerah pedesaan jauh lebih buruk daripada daerah perkotaan.
Tak salah bila slogan ”tuna kapital” melekat pada desa. Alasannya, hampir 60 persen penduduk berada di pedesaan dan mayoritas 75 persen dari mereka adalah angkatan kerja potensial.
Sekelumit fakta di atas mempertegas sebuah ironi bahwa selama ini kue ”kekayaan” hanya milik segelintir orang tertentu. Ironi juga muncul bila melihat realitas orang miskin di Indonesia berjumlah sekitar 8 kali lipat penduduk Singapura, tetapi banyak orang berduit asal Indonesia yang membeli properti di Singapura.
Bahkan, selama 2010 tercatat 2,3 juta orang penduduk Indonesia mengunjungi Singapura hanya untuk berlibur. Sebaliknya, orang Singapura yang datang ke Indonesia dalam kurun waktu yang sama hanya belasan ribu orang.
Pertumbuhan ekonomi yang eksklusif saat ini telah menjerumuskan sekian banyak penduduk Indonesia dalam jurang kemelaratan dan ketimpangan. Hanya sebagian kecil penduduk negeri ini yang menikmati tingginya pertumbuhan ekonomi.
Artikel oleh Agus Suman Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Dimuat di Jawa Pos kolom Opini, Rabu 2 November 2011.